Konon seorang pria jawa dikatakan sempurna bila telah memenuhi beberapa kriteria, salah satunya adalah keris(curiga). Terlepas ada substansi apa dibalik wewarah seperti itu, saya tidak akan membahasnya terlalu jauh. Yang jelas, bagi saya keris adalah warisan budaya dari nenek moyang yang tiada ternilai harganya, sampai-sampai duniapun mengakuinya lewat UNESCO. Nah sebagai lelaki jawa, saya pun berusaha untuk memilki sebuah keris, he he he. Dan di bawah ini adalah keris berdapur Naga Siluman berwarangka ladrang (branggah) gaya surakarta. Keris ini saya namakan Kanjeng Kyai Koden, karena jenis keris ini bisa diperoleh dari para pedagang keris keliling dan biasanya sering dijual perKodi. Sejarah asal muasal  keris ini saya beli di sebuah toko souvenir ketika saya berkunjung ke rumah Ki Sabda Langit.

Kyai Koden

Kanjeng Kyai Koden

Tak lengkap rasanya bila di dinding kamar tamu telah tergantung sebilah keris tetapi belum ada wayang di sana.Dan untuk melengkapi supaya makin terasa nuansa jawanya, maka tak lupa saya pasang dua buah wayang kulit. Gambar di bawah ini adalah tokoh sang Resi Mayangkoro aliyas Hanoman sedang bercakap-cakap dengan Raden Wisanggeni, konon keduanya mempunyai hubungan yang akrab dan sangat khusus.

R. Wisanggeni & Hanoman

R. Wisanggeni & Hanoman

Selanjutnya mungkin karena sering melihat bapaknya ngelus elus keris, anak saya juga sangat senang sekali dengan benda yang satu ini. Ketika saya sedang membersihkan keris yang lain, dia kan selalu merengek untuk dapat memegangnya. Di bawah ini foto putri kecil saya dan Kanjeng Kyai Koden.

Dan ini bapaknya yang lebih hobi memakai baju metaraman dari pada memakai koko, ketika berangkat sholat jamaah ke Masjid (ke mesjidnya kalau lagi mau aja, he he)

Dalang Ra Payu

Dalang Ra Payu

Kalau lagi dipangku begini, genduk paling seneng ditembangin tembang-tembang jawa, sesekali tangannya uklak uklik menari mengikuti irama tembang. Tapi akhir-akhir ini dia lebih seneng shalawatan, pasalnya dia sering diajak ibunya ngaji di mesjid.

Nah, alangkah bagusnya bila setiap keluarga bisa mengenalkan budaya leluhurnya mulai dari hal-hal yang paling kecil. Bila budaya kita ingin lestari sepanjang masa, mari kita kenalkan sedini mungkin dalam lingkungan kita sendiri. Tidak usah yang terlalu rumit dulu, mulailah dengan hal-hal yang sederhana. Misalnya memasang atribut atau simbol atau hiasan yang berbau kedaerahan, membiasakan berbahasa daerah di dalam keluarga dalam interaksi sehari-hari dimanapun kita tinggal. Saya yakin dengan langkah-langkah sederhana seperti ini, bila tiap keluarga mempraktekannya maka budaya kita yang banyak mengandung falsafah hidup yang luhur tak akan musnah termakan jaman. Mangga para sedulur, kita jaga budaya warisan leluhur dengan cara kita masing-masing, supaya tidak kehilangan jati diri, supaya tidak jadi wong jawa sing kajawan. Selamat berjuang.