Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning

Tulisan di atas adalah terjemahan suluk wujil bait ketujuh.Maaf saya tidak bermaksud suka protes atau meng-kritik, tapi ini merupakan fenomena yang terjadi dinegara kita bahkan mungkin dunia.Bait ini lebih condong menyoroti siapapun anda yang merasa atau memproklamirkan diri sebagai pejalan, pencari spiritual atau kaum rohaniawan. Tolok ukur kebahagiaan seorang rohaniawan, kyai, ulama, pandita dll adalah bukan uang, tapi sejauh mana mereka bisa membawa orang lain terbebas dari penderitaan bathin akibat fatamorgana dunia dan kembali kepada Gusti Allah.

Suluk diatas masih sangat relevan dengan jaman sekarang ini, Bahkan kalau saya yang bilang mungkin amat sangat relevan.Lihatlah saudara, lihatlah dengan mata yang jernih, kebanyakan para rohaniawan zaman ini telah lupa akan kesejatian tugasnya, jubah ruhani mereka tanggalkan, kebahagiaan mereka ukur dengan gemerlapnya dunia, mas picis raja brana.Siapa yang menukar kawruh dengan imbalan harta , sesungguhnya ia hanya memuaskan ego, dan perbuatan amal saleh yang dianggapnya selama ini ternyata hanya kekosongan.

Falsafah manuk kuntul (burung bangau) memang jumbuh dengan kenyataan.Bila dilihat sekilas, burung bangau memang menakjubkan. Dia begitu hebat, kakinya yang panjang menambah wibawanya, bulunya yang putih bersih memperlihatkan karismanya, dan sikapnya yang tenang seolah menunjukan kedalaman ilmunya(memang saudara2 manuk kuntul sekarang ilmunya hebat2 dan penampilanya juga meyakinkan).

Namun ternyata saudara2 semua itu hanyalah tipuan semata, semua itu hanya kemuna……yang dibungkus rapi.Burung burung itu pura pura tau dalam segala hal padahal bila ditanya ternyata hanya katanya (kalu tidak percaya coba deh tanya ama burung2 itu, he he he).Bersikap serba wibawa, tenang, tajam padahal sebetulnya ia hanya membangun kesan supaya terlihat arif dan bijaksana.Dengan cara cara yang dikemas sedemikian rupa, ia caplok mangsa mangsanya dengan serakah seoalah tanpa dosa (kasihan deh lo ikan ikan dungu), sayang ikan ikan itu tak sadar bahwa didepan sang bangau mereka itu hanyalah mangsa untuk kemakmuranya.Inilah saudara kebusukan si burung kuntul, yang kelihatan putih bulunya tapi tenyata merah dagingnya. Ratu Wahdat benar inilah jaman burung bangau, mereka berkeliaran di tengah kota dengan menawarkan surga, surga yang didalamnya banyak bidadari2 seperti kemauan mereka.Lebih baik jadi burung perkutut, walaupun sederhana wujudnya tapi banyak yang suka bahkan sang rajapun berkenan memelihara dan mau mendengarkan keindahan suaranya.

Maaf saya tidak mengarang, saya hanya mencoba menafsirkan isi kidung diatas.